Hampir di seluruh wilayah Nusantara, seruan ketika waktu sholat tiba selalu dibuka dengan suara bedug. Kemudian barulah azan berkumandang. Bahkan, suara bedug sangat populer di bulan Ramadhan. Iya, kan? Ngaku, deh.
Akhirnya, bedug pun jadi identik dengan agama islam. Pertanyaanya, sejak kapan dan bagaimana bedug hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia? Apakah seiring dengan perubahan kendaraan religius dalam sejarah, ketika kerajaan-kerajaan Hindu-Budha runtuh berganti dengan masuknya islam?
Beberapa literatur meyakini bedug tiba di bumi Nusantara seiring kedatangan Cheng Ho. Laksamana muslim Kaisar Ming itu menginginkan suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat serupa di kuil-kuil Budha di Cina.
Namun, menurut studi M. Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang, bedug terkait dengan masa prasejarah Indonesia di mana nenek moyang kita sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu yang dipakai dalam minta hujan.
Kata Bedug juga sudah disinggung dalam Kidung Malat, sebuah karya sastra dari abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan bahwa bedug dibedakan antara bedug besar (teg-teg) dengan bedug ukuran biasa. Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda adanya perang, bencana alam atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah Jawa yang mengatakan, “Wis wanci keteg.†(sudah waktu siang). Kata †keteg†diambil dari saat teg-teg dibunyikan.
Kendati demikian, pengaruh Cina tidak lantas dikesampingkan. Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan tali dan pasak untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa mirip dengan cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur, seperti Jepang, Cina atau Korea.
Bukti lain terlihat pada penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan. Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya Timur Tengah.
|
Bedug di Purworejo yang diklaim terbesar di Indonesia, bahkan dunia |
Kemungkinan itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit. Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh budaya India dan Semit Islam. Namun, diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.
Kesimpulannya, bedug bisa dikatakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon) di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar, seperti India, Cina, dan Timur Tengah.
Bedug akhirnya mem-buda ya
Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya “D’eerste Boek†menjadi saksi atas keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika tiba di Banten, ia menggambarkan bahwa di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas merujuk pada bedug.
Muktamar NU ke-11 tahun 1936 di Banjarmasin kembali mengukuhkan penggunaan bedug dan kentongan, bahwa pemakaian kedua alat tersebut di masjid-masjid sangat diperlukan untuk memperbesar syiar Islam.